Penguasaan Atas Laut dan Gas Dalam Timbangan Syariat

Oleh. Ust. Lathief Abdallah
(Pemerhati Sosial Keagamaan)

Pelitasukabumi.id – Dua perkara diatas menjadi sorotan dalam pekan ini. Karena ada sebagain perairan laut dipagari oleh pengusaha (oligarki). Sedangkan gas dalam beberapa waktu mendadak langka, antrian mengular, karena kebijakan ‘semberono’ seorang mentri SDM hingga memakan korban.

Sejak awal januari 2025, berita terviral dan mendapat perhatian semua media adalah adanya pagar laut sepanjang 30,16 km di perairan kabupaten Tanggerang Banten yang sempat dianggap misterius. Karena tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya dan tak ada yang bertanggung jawab.

Setelah viral dan banyak desakan dari berbagai kalangan. Melalui rapat kordinasi dengan menteri terkait, Presiden Prabowo langsung memerintahakan pembongkaran pagar laut tersebut. Kemudian ada pernyataan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pagar laut di Tangerang dikuasai perusahaan PT Intan Agung Makmur yang memiliki sertifikat HGB sebanyak 234 bidang dan PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang. Tak hanya dimiliki dua perusahaan, sertifikat itu juga dimiliki perorangan, yakni sebanyak sembilan bidang dan Surat Hak Milik (SHM) sebanyak 17 bidang. Secara total, jumlah pagar laut di Tangerang memiliki sertifikat HGB hingga 263 bidang. Penerbitan surat-surat tersebut dianggap bermasalah.

Secara legal penguasaan dan kepemilikan tersebut bermasalah. Berbagai elemen masyarakat dan aktivis penggiat anti koruspsi melaporkannya ke KPK. Diduga pelaku melakukan perbuatan melawan hukum

Pemagaran laut oleh pihak sewasta bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 33 ayat (3) dinyatakan “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Juga putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang melarang lautz dikuasai oleh sewasta. Tentu terlebih laut sebagai aset rakyat, khusunya nelayan tidak boleh dibatasi oleh pagar laut yang dimiliki seseorang atau sebuah perusahan.

Bagaimana sistem ekonomi islam mengatur kekayaan alam semacam laut dan gas?

Dalam sistem ekonomi Islam, seperti dijelaskan dalam kitab dirasah fi fikril islami, Muhamad Husain Abdullah. Hak kepemilikan dikategorikan menjadi 3 (tiga), yaitu : Milik individu (milkiyah fardhiyah). Milik umum (milkiyah ‘ammah). Milik negara (milkiyah daulah)

Baca Juga :  Beri Kuliah Umum di UNPAD, Menteri AHY Ungkap Capaian Sertipikat Tanah Elektronik Meningkat 46 Kali Lipat dalam Tujuh Bulan Terakhir

Laut dan gas termasuk di antara barang yang menjadi kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah).
Pengertian kepemilikan umum adalah izin dari al-Syari’ kepada al-jama’ah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu.

Realita kepemilikan umum ini terbagi menjadi tiga, yakni: Pertama, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, yakni sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan masyarakat, dan akan menyebabkan persengketaan tatkala ia lenyap, seperti air, padang rumput, dan api (energi, bahan bakar). Dalam hal ini Rasulullah ﷺ bersabda, “Manusia berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah).

Kedua, segala sesuatu yang secara alami mencegah untuk dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan, seperti jalanan, sungai, laut, danau, masjid, sekolah-sekolah negeri, dan lapangan umum. Sabda Rasulullah SAW, “Tidak ada pagar pembatas kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)

Makna hadis ini adalah bahwa tidak ada hak bagi seorang pun untuk memberikan batasan atau pagar (mengkapling) segala sesuatu yang diperuntukkan bagi masyarakat umum.

Ketiga, barang tambang yang berjumlah banyak yang depositnya tidak terbatas. Adapun bila jumlahnya sedikit dan terbatas, dapat saja menjadi kepemilikan individu. Individu boleh saja memilikinya. Barang tambang yang depositnya banyak contohnya adalah tambang emas, perak, minyak bumi, fosfat, gas dan sebagainya.

Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abyadh bin Hamal al-Maziniy, bahwa Abyadh telah meminta kepada Rasul ﷺ untuk mengelola tambang garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seseorang yang berkata kepada Rasul, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Rasul kemudian berkata, “Tariklah kembali tambang tersebut darinya.”

Rasul bersikap demikian karena sesungguhnya garam adalah barang tambang seperti air mengalir yang tidak terbatas depositnya.

Jelaslah pemagaran laut oleh pihak sewasta atau perorangan bertentangan dengan syariat juga dengan aturan negara RI sendiri. Sudah selayaknya semua surat pemberian hak SHM, HGB dicabut, pagar laut semuanya dibongkar, diusut setiap yang telah terlibat dalam perampasan hak umum ini.

Bagikan Pelitasukabumi.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Punten Teu Kenging Copas nya, Mangga hubungin IT Pelitasukabumi.id 081563116193