Oleh: Lathief Ab
Pelitasukabumi.id – Melihat marak dakwah di sosial media sangat mengembirakan di satu sisi. Namun sisi lain jadi rasa malu dan minder. Ketika ramai pula persaingan hingga pertentangan. Berujung saling serang saling jatuhkan. Bahkan ada kontener (pembuat konten) yang khusus menyerang ustadz, ulama yang bukan dari kelompoknya. Termasuk fanatisme mazhab dan suasana panas perbedaan ratingnya mulai naik lagi. Ah jadi gimana rasanya, malu dan minder, jadi tontonan umat lain.
Saya sempat mengikuti dan membenarkan pemikiran berislam tanpa madzhab. Bahwa adanya madzhab – madzhab itu memecah belah umat. Namun kenyataannya kelompok tanpa madzhab itu malah nambah perpecahan dan permasalah baru. Antara lain merasa kelompoknya si paling najjiah (selamat), si paling sunnah, hum laisa minna wa nahnu laisa minhum, kulluhum finnar- kelompok selainnya ahli neraka kabeh!
Realitanya semuanya itu bermadzab. Termasuk kelompok yg mengkelaim dirinya tanpa madzhab. Karena hakikatnya madzhab mereka itu tanpa madzhab.
Madzhab itu isim makan, tempat pergi dalam makna ‘marja’, tempat merujuk dalam memahami agama. Setiap muslim pasti punya pembimbing, pemandu, tempat bertanya, sumber pemahaman. Dalam kontek periode tabiin dan berikutnya madzhab menjadi formal baik dalam aqidah maupun fikh. Maka dikenalah Ahlus Sunnah, Mu’tazilah, Sunni, Syi’i dsb. Dikenal pula Hanafi, Malaki, Hambali, Syafii dsb.
Maka dapat dikatakan bila madzhab itu kumpulan pemikiran-pemikiran islami yang menjadi pegangan atau rujukan. Baik berkaitan dengan aqidah maupun syariah ( fikih). Sering pemikiran tersebut atau para pengikutnya dinisbatkan kepada penggagasnya seperti Asyariyun’ Taimiyun, Wahabiyyun, Hanafiyun, Syafi’iyun dsb.
Faktanya di tengah masyarat atau jamaah, organisasi keislaman dalam peraktek keagamaan terdapat golongan pengikut dan yang diikuti, awam dan alim. Kelompok pengikut atau awam dalam memahami dan mangamalkan agamanya akan mengikuti kalangan alim di antara mereka, artinya bemadzhab atas madzhab yang diikuti mereka.
Pemikiran Islami bermakna kandungan dan sumber pemikiran itu berdasar Islam. Tepat dikatakan oleh Syekh Muhamad Ismail dalam kitabnya, Addirasah Islamiyah Fi Fikril Islami; “Alfikrul islami hua alhukmu ‘alal waqi biwijhati nadzhril Islam- Pemikiran Islam adalah menghukumi fakta berdasar cara pandang Islam.
Oleh karenanya, semestinya melihat madzhab berbeda atu pemikiran yang bersebrangan selama berdasar pada sumber Islam maka kita bersikap biasa saja, saling menghargai. Terhadap beda agama saja kita sesumbar mesti toleransi, aneh bila ke internal saling sikut, saling sikat saling hantam.
Cara padang ke sesama yang beda madzhab atau pemikiran seperti apa yang dikatakan Imam Asyyafii, “Ra’yi “Shawwabun yahtamilul khata’ wara’yu ghairi khatthaun yahtamil shawab – Pendapat ku benar yang mungkin mengandung kesalahan, dan pendapat selainku salah yang mungkin mengandung kebenaran”.
Dengan cara pandamg diatas maka kita akan yakin atas kebenaran yang kita pahami namun senantiasa menghargai pendapat lain, akan mendorong untuk mencari dan menerima kebenaran.
Wallahul muwafiq ila aqwamittahriq.