Oleh: Lathief AbSie. Keagamaan BJI Sukabumi Raya
Pelitasukabumi.id – Indoneisa telah menetapkan pemimpin baru yaitu Prabowo dan Gibran sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Keduanya disumpah di bawah Kitab Suci al-Quran pada Sidang Paripurna MPR RI di Gedung Nusantara MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (20 Oktober 2024).
Dalam pidatonya Presiden baru ini menyampaikan berbagai aspek kehidupan bangsa, harapan dan cita-cita untuk kebaikan seluruh rakyat Indonesai. Tentu kita berharap akan ada perubahan yang komprehensif kearah perbaikan kehidupan rakyat di tengah himpitan berbagai masalah.
Kekuasaan tak lepas dari kehidupan manusia. Karenanya Islam memberi perhatian besar terhadap hal ini. Dalam Islam, kekuasaan memiliki peran yang sangat penting untuk menolong agama Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan mengajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu doa agar diberikan kekuasaan yang bisa digunakan untuk menegakkan agama-Nya. Hal ini termaktub dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar, dan keluarkanlah (pula) aku dengan cara keluar yang benar, serta berikanlah kepada diriku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (agama Allah).” (TQS al-Isra’ [17]: 80).
‘ Sulthanan Nashira’ kekuasaan yang meolong, menurut Imam Ibnu Katsir,
yakni kekuasaan untuk menegakkan agama dan kekuasaan untuk melaksanakan hukum Allah.
Dari tafsir tersebut, ada dua fungsi utama kekuasaan dalam Islam: Pertama, untuk menegakkan agama Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika beliau menjadi kepala negara di Madinah; dan Kedua, untuk mengurus urusan masyarakat dengan syariah Islam. Kekuasaan yang digunakan sesuai syariah menjamin bahwa semua warga, baik Muslim maupun non-Muslim, akan terurus dan terlindungi dengan baik, tanpa ada penindasan dari pihak yang kuat terhadap yang lemah.
Kekuasaan dalam Islam juga harus diemban oleh pemimpin yang adil dan amanah, termasuk orang-orang yang diangkat sebagai pembantunya. Mereka harus dipilih berdasarkan kompetensi dan tanggung jawab, bukan karena faktor transaksional atau kekerabatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sungguh Allah menyuruh kalian menyerahkan amanah kepada orang yang berhak menerima amanah itu.” (QS an-Nisaa’ [4]: 58).
Selain itu, pemimpin dan pembantu harus memiliki sifat jujur, karena kejujuran membawa kebaikan yang menuntun pada surga, sementara dusta membawa kejahatan yang mengantarkan pada neraka (HR Muslim).
Lebih dari itu, Islam menekankan pentingnya sistem pemerintahan yang berlandaskan aqidah dan syariah Islam, bukan sistem sekuler. Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa hukum-Nya yang terbaik dan wajib diterapkan oleh kaum yang beriman, sedangkan hukum jahiliah harus ditinggalkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi kaum yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).
Dalam Islam, amanah kepemimpinan merupakan tanggung jawab yang sangat berat dan menakutkan, karena tidak hanya harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat di dunia, tetapi juga di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat. Kesadaran akan hal ini sangat penting agar para pemimpin takut hanya kepada Allah, sehingga mereka tidak akan menyalahgunakan kekuasaan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan,
“Sungguh kalian akan berambisi terhadap kekuasaan. Padahal kekuasaan itu bisa berubah menjadi penyesalan pada Hari Kiamat kelak” (HR al-Bukhari).
Dalam Kitab Shifat as-Shafwah, Ibn al-Jauzi menuturkan, para khalifah terdahulu seperti Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dan Umar bin al-Khaththab ra. sangat khawatir akan beratnya pertanggungjawaban kekuasaan. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, khawatir Allah akan meminta pertanggungjawaban bahkan atas seekor domba yang mati di tepi Sungai Eufrat. Bahkan Abu Bakar ra. pernah berkata, “jika aku berbuat baik, bantulah aku. Jika aku berbuat salah, luruskanlah aku.” Kekhawatiran yang sama juga dirasakan oleh Umar bin Abdul Aziz ra., yang berdoa agar tidak menyia-nyiakan amanah yang diembannya.
Meskipun mereka dikenal sebagai orang-orang yang shalih, adil, dan amanah, mereka tetap merasa takut akan pertanggungjawaban di hadapan Allah. Rasa takut ini membuat mereka menjalankan amanah dengan sangat baik agar kekuasaan yang mereka emban tidak menjadi penyesalan di akhirat.
Berharap, moga para pemegang kekuasaan dan jabatan di masa kini, masih memiliki rasa takut yang sama akan pengadilan akhirat sehingga mereka tidak abai terhadap amanah.