Oleh: Ust.Lathief Abdallah (Pengasuh Pondok Baitul Hamdi)
Pelitasukabumi.id – Seorang bertanya kepada saya. Ustadz, benarkah bulan safar itu bulan sial? Dia cerita beberapa bisnis jual beli mobilnya gagal terus di bulan safar ini. Lainnya bertanya soal kebenaran bahwa setiap rabu akhir atau disebut rabu wekasan turun 320.000 bala bencana. Karena ada persepsi bulan sial sebagian masyarakat ada yang menghindari pernikahan di bulan safar.
Tentu pemahaman bahwa safar bulan sial dan rabu wekasan (pungkasan) turunnya ratusan ribu bala bencana perlu dikoreksi. Karena berkait dengan akidah dan amaliah.
Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Tasa’um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini.
Padahal menganggap sial pada waktu baik jam, hari bulan atau tahun adalah sikap keliru dan bukan dari ajaran Islam. Nabi bersabda “Janganlah kamu sekalian mencerca zaman, karena zaman itu adalah Allah (Allah yang membuat ketentuan-ketentuan dan menggerakkannya)”. (HR. Muslim).
Mencela waktu hakikatnya mencela Allah SWT yang telah meciptakannya. Pandangan yang benar adalah semua waktu itu baik tapi ada waktu yang memiliki keutamaan dibanding lainnya, seperti hari jum’at dan bulan Ramadlan. Tapi tidak ada waktu yang tercela. Bahkan beberapa surat dalam al Qur’an diawali dengan sumpah waktu; demi waktu ashar (Surat103), demi waktu dluha (Surat 93), demi waktu malam (surat 92), dll. Menunjukkan kemuliaan dan keutamaan waktu itu sendiri.
Berkait dengan anggapan safar itu bulan sial. Nabi mengoreksi pemahaman tersebut, “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” (HR. Imam Bukhari Muslim).
Kita dianjurkan untuk bertafau’l, yakni menyampaikan kata-kata baik, motivatif dan optimistik. “Tidak ada pertanda sial dan yang paling baik justru al-fa’l”. Mereka berkata: “Apakah al-fa’l itu?”. Rasul bersabda: “Kalimat yang baik yang kalian dengar”. (HR. Bukhari)
Kita diperintahkan untuk senantiasa husnudzan walau saat kita dalam tertimpa bencana. “Aku sesuai persangkaan hambaku tentang diriku.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Demikian juga keyakina yang berkembang di sebagian masyarakat terutama masyarakat pinggiran bahwa malam rabu terakhir di bulan safar (rabu wakasan) adalah malam talak bala. Karena diyakini turun berbagai bala bencana. Secara dalil keyakinan tersebut tidak berdasar, baik Qur’an maupun hadits sahih. Sebagian berpendapat bahwa itu berdasar pada mimpi wali. Hanya mimpi bukanlah dalil dalam amaliyah apalagi keyakinan.
Sebaliknya justru menurut dalil sahih, rabu adalah hari yang baik. Dari Abdurrahman bin Ka’ab, dia berkata: “Aku mendengar Jabir bin Abdullah berkata: “Rasulullah berdoa di masjid ini, masjid al-Fath, pada hari Senin, Selasa dan Rabu, kemudian dikabulkan di hari Rabu di antara waktu dua Shalat [Dhuhur dan Ashar]”. Jabir Berkata: “Tak pernah terjadi hal yang sangat penting bagiku yang aku sengaja menunggu waktu itu kemudian aku berdoa kepada Allah saat itu di antara dua shalat pada hari Rabu, kecuali setahuku pasti dikabulkan.” (al-Bukhari)
Imam al-Hafidz as-Sakhawi as-Syafi’i menceritakan tentang orang-orang shalih yang beliau temui. Ia bercerita tentang pengaduan hari Rabu pada Allah sebagai berikut: “Saya dengar dari sebagian ulama saleh yang kami temui, ia berkata: Hari rabu mengadu kepada Allah tentang anggapan sial orang-orang terhadapnya, maka Allah menganugerahkan bahwa apapun yang dimulai di hari Rabu, maka pasti akan sempurna”. (as-Sakhawi, al-Maqâshid al-Hasanah, juz I, halaman 575).
Dalam catatan sejarah, pernikahan Rasulullah dengan Sayidah Khadijah terjadi di bulan safar. Pernikahan Faitimah Azzahra dengan Ali Bin bin Abi Thalib juga di bulan Safar. Hijrah pertama Nabi pun dari Makah dimulai bulan safar sampai ke Madinah pada bulan Rabiul awal. Dengan demikian Safar bukanlah bulan sial tapi bulan spesial, rabu bukankah hari buntung tapi hari untung.