Oleh. Ust.Lathief Abdallah Pengasuh Pondok Baitul hamdi
Pelitasukabumi.id – Berdasar QS 2: 183 jika yang sakit dibolehkan memilih berbuka dan wajib mengqadhonya diluar bulan Ramadlan, yaitu sakit yang ‘yurja’ baru’hu’ (ada harapan sembuh). Ada perbedaan pendapat, apa semua penyakit boleh berbuka. Sebagian menyebut penyakit apapun, namun mayoritas ulama (jumhur) menyebut hanya penyakit yang jika berpuasa akan menambah berat sakitnya. Sedang sakit ‘lam yurja’ baruhu’ (taka ada harapan sembuh) maka boleh berbuka dan wajib atasnya fidyah.
Bagi orang yang sakit dan harapan sembuh dibolehkan memilih berpuasa atau berbuka. Jika dirasa kuat berpuasa lebih baik, jika berat berbuka lebih utama. Bila ia memilih berbuka maka wajib mengantinya (qadha) di luar hari bulan Ramadhan sejumlah hari yang ia tidak berpuasa.
Siapa yang punya utang puasa dianjurkan menyegerakan mengqadhanya, karena menyegerakan membayar utang bagian dari sunah. Walaupun boleh dilaksanakan kapan saja selama di luar Ramdhan. Hanya saja qadha tidak boleh dilaksanakan pada hari dilarang puasa seperti pada dua hari raya dan hari tasyriq, atau bersamaan dengan puasa wajib seperti puasa nadar, puasa kifarat dan puasa Ramadhan berikutnya.
Jika orang sakit kemudian wafat sementara tidak ada waktu untuk mengqadha, misal ia wafat di bulan ramadhan atau sakit berketerusan hingga di luar Ramadhan sampai ia wafat, maka tidak ada kewajiban apapun baginya baik qadha maupun fidyah. Jika setelah Ramadhan ia sempat sembuh lalu wafat, maka jumlah hari dimana ia sembuh itu adalah waktu qadha. Ia meninggalkan kewajiban qadha yang harus dibayar. Misal tidak puasa 15 hari. Kemudian sembuh sampai hari ke 10 bulan syawal (di luar 1 syawal hari ied), maka ia punya kewajiban qadha 10 hari, bukan 15 hari.
Lalu bagaimana solusinya apabila seseorang wafat dalam keadaan punya utang puasa dan ia memiliki waktu penuh atau sebagian waktu untuk mengqadla puasa yang ditinggalkannya, AlQaradlawi dalam fiqh Ashiyam, Mahmud Bakr Ismail dalam Fiqh al wadlih menjelaskan sebagai berikut; hendaknya diqadha oleh wali kerabatnya sebagai kabaikan (tabarru), berdasar hadist riwayat Bukhari Muslim, Nabi SAW;
“Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan hutang puasa, maka walinya harus berpuasa untuk membayarkan hutangnya.” Jika tidak ada wali yang sanggup mengqadhanya, maka diganti dengan fidyah yang diambil dari harta warisanya (tirkah) atau dari harta walinya. Hal ini sejalan dengan hadist riwayat Ibnu Umar Ra, Rasulullah SAW bersabda “Siapa saja yang wafat dan ia mempunyai hutang puasa, hendaklah orang miskin diberi makan pada setiap hari hutang puasanya”. Wallahu’alam.