Awal Akhir Ramadhan Bersama Dalam Perbedaan

Oleh: Ust Lathief Ab (Pemerhati Sosial Dan Keagamaan)

Pelitasukabumi.id – Di Indonesia khususnya, tahun-tahun sebelumnya, tahun ini 2024 dan tahun-tahun berikutnya kemungkinan besar akan terus ada perbedaan awal dan akhir Ramadhan (mulai puasa dan hari raya).

Dalam pengetahuan saya, ada dua faktor menyebabkan bersama dan berbedanya awal puasa dan hari raya; pertama faktor alam, kedua faktor pemahaman.

Pertama, faktor Alam. Dulu berbeda itu beralasan karena perbedaan jarak yang berjauhan (+_ 24 Parsakh :+-130 km) dimungkinkan perbedaan terbitnya bulan hilal. Kenyataan perbedaan titik terbitnya hilal antar wilayah ini disebut dengan ikhtilaful mathla’. Maka orang Madinah bisa berbeda dengan orang Makah, orang Bagdad bisa berbeda dengan Kuffah, jika salah satunya belum melihat hilal. Jadi dianggap wajar bila saat orang Indonesia berbeda sengan Arab atau Eropa. Pemahaman ini mengacu pada madzhab Syafi’iyah. Tidak bagi Madzhab Jumhur (Mayoritas madzhab: Hanafi, Maliki dan Hambali). Dimana Jumhur berpendapat satu rukyat berlaku untuk semua wilayah (global). Artinya bila di negara Saudi misalnya, dinyatakan terlihat hilal, maka berlaku untuk semua kaum muslimin dimanapun. Karena melihat hilal hukumnya fardhu kifayah.

Perbedaan cara pandang tersebut bisa dibaca di kitab Al Fiqhul Islami Wahbah Al Zuhaily, Fiqhus sunnah Sayyid Sabiq, Fiqhus shiyam Al Qaradawi dan Fiqhul Wadhih Abu Bakr Ismail. Dalam kitab-kitab tersebut lebih cendrung dan mendorong pada pemahaman satu rukyat untuk semua (rukyat global) mengingat teknologi informasi saat ini kian mudah dan cepat.

Kedua, faktor Pemahaman. Dalam faktor alam di atas juga mengandung unsur pemahaman antara madzhab Syafi’i; rukyat lokal, dengan madzhab jumhur; rukyat global, seperti dijelaskan sebelumnya.

Namun perbedaan karena beda negara; misal perbatasan Pulau Timur Kalimantan secara jarak lebih dekat ke Malaysia namun mesti ikut ke Indonesia berarti jelas ada unsur pemahaman. Kondisi ini konon karena ada pemahaman wilayatul hukmi (wilayah kekuasaan) sebagai pengejewantahan dari konsep ikhtilaful mathla’.

Disamping pemahaman diatas, juga kemudian telah ditemukanya ilmu astromomi (hisab) modern yang akurat, dimana tingkat keleliruannya 1/100.000. Sehingga bisa memastikan gerhana matahari atau bulan pada hari, jam menit dan detik secara pasti. (Al Qaradawi. Fiqhus Shiam).

Lahirlah dua metode dalam menentukan awal akhir Ramadhan, yaitu rukyat dan hisab. Keduanya bepangkal dari hadist nabi yang memerintah untuk melihat hilal atau digenapkan (istikmal) jika langit mendung untuk mengawali dan mengakhir Ramadlan. Dari sini muncul pemahaman dimaksud melihat itu bisa dengan aini (mata telanjang) disebut rukyat. Atau melihat dengan ilmu pengetahuan astronimi disebut hisab. Dengan ilmu ini wujudul hilal ( kemungkinan hilal sudah ada) atau imkanur rukyat (kemungkinan hilal bisa dilihat) awal akhir Ramadhan dapat ditentukan sejak awal.

Baca Juga :  Tambang Wajib Dikelola Oleh Negara Untuk Kepentingan Seluruh Rakyat

Dari pemahaman rukyat dan hisab di atas lahirlah tiga langkah penentuan; rukyat saja (rukyat lokal atau rukyat global), hisab saja, dan gabungan hisab-rukyat. Berkait dengan hisab, menghasilkan kesimpulan berbeda karena adanya metode hisab antara wujudul hilal dan imkanur rukyat, juga batas minimal drajat kemungkinan rukyat juga ada berbedaan. Sejak thn 2021 ada kesepakatan Menteri Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) selama ini, kriteria hilal (bulan) awal Hijriyah adalah ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam mengubah kriteria tersebut menjadi ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Kriteria atau syarat bulan terlihat (imkanur rukyat) tersebut digunakan oleh PBNU, PERSIS dan pemerintah. Sementara Muhamadiah tetap berpegang pada wujudul hilal (dimungkinkan adanya hilal) walau ketinggian hilal 0,1 derajat. Atas perbedaan pemahaman tersebut awal Ramadhan dan raya ‘iedul fitri thn 2023 terjadi perbedaan. Demikian juga thn 2024 ini.

Menjadi unik, jika perbedaan awal akhir karena jarak jauh misal antar negara, antar benua mungkin dimaklumi disamping ada pejelasan secara fikh sebagaimana telah diurai diatas. Namun perbedaan saat ini bukan karena beda Jarak tapi karena beda ormas. Seorang teman cerita, satu keluarga, suaminya Muhammdiyah sedang Istrinya NU. Selembur, sedapur, dan sekasur tapi pas puasa dan ‘iedul fitri keduanya berbeda. Masjid hanya beda RT tapi berbeda lebaran karena masjid beda ormas. Hal yang tidak pernah terjadi di zaman Nabi, di masa sahabat atau qurun tabi’in.

Memang masalah perbedaan (ikhtilaf) di antara kaum muslimin sudah maklum adanya. Tapi ada iktilaf yang mesti diambil keputusan satu pendapat (tabanni).
Dan yang berhak mentabanni itu imamul muslimin (pemimpin seluruh kaum muslimun. ‘Amrul imam yarfaul khilaf’, keputusan imam akan menghilangkan perbedaan, kata kiadah fiqh. Termasuk masalah awal akhir Ramadhan. Mau disamakan atau dibiarkan berbeda sesuai pemahaman masing-masing tergantung penilaian imamul muslimin. Karena jika tabanni oleh masing-masing ormas atau masing-masing negara tetap aja akan ada perbedaan di antara kaum muslimin. Masalahnya saat ini ada tidak imamul muslimin itu? Nah ini juga bagaian dari masailul umat.

Ya, sementara saat ini mestinya berlebar dada saja menerima kenyatan, selalu bersama dalam perbedaan. Jangan saling mebid’ahkan karena perbededaan, apa lagi melarang dan tidak mengizinkan pasilitas jika yang berbeda ingin melaksanakan pemahaman fiqh ibadahnya. Kepada non muslimim saja kita bangga dengan toleransi, moso terhadap sesama umat gak saling muliakan.!

Bagikan Pelitasukabumi.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *