Praktisi Ekonomi Islam Turun Gunung Kritik Program Wakaf Tunai Ala Pemkot Sukabumi

Wartawan Iyus Firdaus

Pelitasukabumi.id- Program Wakaf Dana Abadi berbentuk wakaf tunai yang diluncurkan oleh Pemerintah Kota Sukabumi menuai kritik dari pengamat sekaligus praktisi Ekonomi Islam. H. Budhy Lesmana yang telah malang melintang dalam kajian fiqh muamalah.

Dia menyampaikan bahwa meskipun secara maqashid syariah program ini ditujukan untuk kemaslahatan, implementasinya justru mengandung sejumlah pelanggaran terhadap prinsip syariah dan tata kelola wakaf yang benar.

Salah satu persoalan krusial adalah belum adanya pihak yang secara resmi berstatus sebagai nazhir selama periode awal pengumpulan dana. Dalam hukum wakaf, keberadaan nazhir sebagai pengelola sah sangat fundamental, karena menyangkut keabsahan pengelolaan harta wakaf itu sendiri.

“Pengumpulan dana sebelum adanya perjanjian kerja sama dengan lembaga pengelola resmi menimbulkan kekosongan hukum yang serius,” kata Budi, Sabtu (5/4/2025).

Tak hanya itu ujarnya, pelibatan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan tenaga honorer sebagai wakif dilakukan melalui pendekatan struktural. Dimana masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) diberi QRIS tersendiri dan diminta membuat absensi bulanan penyetor.

Praktik tersebut, menurutnya berpotensi menimbulkan unsur ikrah (paksaan), yang secara fikih dapat membatalkan niat wakaf, karena keikhlasan adalah syarat sahnya niyyah ibadah dalam muamalah.

Dalam perspektif fikih jelas Budhy, wakaf al-nuqud (wakaf dalam bentuk uang) lanjut dia, memang merupakan isu yang diperdebatkan. Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i dan Hanbali menolak keabsahannya, karena tidak memenuhi syarat baqa’ul ‘ayn (keabadian pokok harta).

Sementara sebagian ulama Malikiyah dan Hanafiyah membolehkan dengan syarat nilai uang dijaga dan manfaatnya dialirkan, berdasarkan istihsan dan Mashalih Mursalah. Dia berpendapat bahwa pendapat yang rajih adalah yang melarang, sebab wakaf harus didasarkan pada nash syar’i bukan pada pertimbangan manfaat semata.

Aspek akad pun menjadi sorotan. Banyak ASN yang hanya diminta menyetor uang tanpa adanya sighat ikrar wakaf. Dalam fiqh al-mu’amalat, sighat adalah salah satu rukun yang harus terpenuhi dalam akad wakaf, yang meliputi ijab dan qabul antara wakif dan nazhir.

Tanpa sighat dan tanpa ridha, maka akad tidak sah secara syar’i. Terlebih, tidak adanya Akta Ikrar Wakaf (AIW) dari Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) mempertegas bahwa prosedur formal dan hukum syariah belum dijalankan secara utuh.

Baca Juga :  Tim Survei Klinik Pratama Lakukan Visitasi ke BNNK Sukabumi, Untuk Tujuan Apa?

Kendati dana yang terkumpul cukup besar, Budhy menekankan bahwa angka bukan tolok ukur keberhasilan dalam konteks ibadah. Esensi wakaf sebagai amal tatawwu’(sukarela) harus dijaga agar tidak berubah menjadi taklif yang bersifat memaksa.

Ia menyarankan agar Pemkot Sukabumi mengganti istilah “wakaf” dengan istilah yang lebih netral seperti “urunan sosial” atau “iuran kebaikan”, agar tidak menyesatkan secara terminologi dan tidak melanggar kaidah fiqhiyyah.

Ia juga menekankan bahwa penggunaan dalil maslahat sebagai landasan hukum harus hati-hati, agar tidak jatuh pada jebakan utilitarianisme yang bertentangan dengan prinsip tawaqquf ‘ala al-nash (berhenti pada teks syar’i). Hukum Islam, menurutnya, bukan sekadar alat mencapai manfaat, tetapi sistem ilahiyah yang dibangun atas dalil qat’i dan ijma’.

Kondisi ini mengindikasikan adanya krisis pemahaman terhadap fiqh al-awqaf di tingkat birokrasi, di mana terminologi syar’i digunakan tanpa penghayatan terhadap implikasi hukumnya.

Pemaksaan istilah “wakaf” dalam program yang belum memenuhi arkan wa syuruth al-waqf (rukun dan syarat wakaf) bisa menimbulkan gharar (ketidakjelasan), baik bagi pihak pemberi maupun penerima manfaat.

Dalam konteks tata kelola publik berbasis syariah, hal semacam ini bisa membuka celah terjadinya tadlis (penyamaran hukum), yang berpotensi merusak kepercayaan umat terhadap institusi keagamaan negara.

Lebih jauh kata Budhy, pendekatan teknokratis terhadap ibadah tatawwu’ seperti wakaf juga mengabaikan prinsip al-hurriyyah fi al-ta’abbud (kebebasan dalam beribadah) yang dijamin dalam Islam. Ketika ibadah menjadi bagian dari sistem pelaporan kinerja dan intervensi struktural, maka dimensi spiritualnya terkikis.

Jika tren seperti ini dibiarkan, bukan tidak mungkin terjadi institusionalisasi ibadah secara birokratis yang justru bertentangan dengan prinsip ikhlas lillahi ta’ala, dan dapat memunculkan budaya riya’ birokratis yakni melakukan amal ibadah untuk dinilai oleh manusia, bukan karena Allah.

Bagikan Pelitasukabumi.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Punten Teu Kenging Copas nya, Mangga hubungin IT Pelitasukabumi.id 081563116193