Taqdir Dan Kehendak Manusia

Oleh: Ust. Lathief Abdallah.(Pengasuh Pondok Baitul Hamdi)

Pelitasukabumi.id – Pada tanggal 29 September 2025, mushala tiga lantai di area Pondok Pesantren Al-Khoziny yang berlokasi Buduran, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur, runtuh ketika para santri sedang melakukan salat Asar berjamaah. Lebih dari satu minggu tim SAR melakukan penyelamatan dan pencarian korban. Per 7 Oktober 2025 pencarian korban ditutup. Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan melaporkan 69 korban tewas, 103 korban cedera. Di ketahui mushala tiga lantai tersebut sedang dalam proses pengecoran.

Peristiwa tersebut menjadi sorotan media dan para influncer baik sorotan dari sisi keagaaman maupun sisi rancang bangunnya. Antara lain seorang dosen keislaman di Autralia Nadirsyah Hosen di akun FBnya bekomentar “Kita sering berlindung di balik kalimat “sudah takdir”, seolah-olah Tuhan yang disalahkan atas kecerobohan kita. Padahal Allah memberi akal untuk menghitung beban, memberi aturan demi keselamatan, dan ilmu agar kita tak membangun di atas kesalahan”
Informasi dari media bahwa mushala tersebut tidak dirancang untuk tiga lantai. Namun karena kebutuhan akhirnya dilanjut menjadi tiga lantai yang membuat penyangga beton tidak seimbang hingga ambruk.

Takdir Itu Wilayah Keimanan.

Pembahasan taqdir kembali mencuat
terutama saat sesepuh Pondok Alkhazini, KH Abdus Salam Mujib, menyampaikan permohonan maaf kepada wali santri dan memohon untuk sabar dan ikhlas bahwa peristiwa ini merupakan taqdir Allah SWT. Banyak yang mempersoalkan kata takdir. Bahkan berkomentar bahwa itu bukan taqdir tapi kelalaian yang mengorbankan nyawa santri.

Taqdir adalah pengetahuan Allah yang meliputi segala hal. Apapun yang terjadi berada dalam rancanganNya dan kekuasaanNya. Ini merupakan sifat Allah SWT yang Maha kuasa atas segala sesuatu. Iman kepada taqdir Allah bagian dari rukun iman sendiri (Annabhani, Syaksyiah Islamiyah 1 hal 78).

Makna taqdir tersebut seperti diterangakan dalam al Qur’an, “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh).” (QS Yunus: 61). Makna yang senada dapat dijumpai dalam QS; Al-Hajj: 70, Annisa : 59 At-Taubah : 51.

Dalam hadist nabi ditegaskan, “Yang pertama kali Allah ciptakan adalah Qalam (pena), lalu Allah berfirman kepadanya: ‘Tulislah!’ Ia menjawab: ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman: ‘Tulislah taqdir segala sesuatu sampai hari Kiamat.’” (HR. Abu Daud). “…..dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim).

Hikmah keimanan pada takdir akan menumbuhkan jiwa yang stabil. Bersyukur saat meraih kesenangan dan sabar ketika tertimpa penderitaan. Tidak jumawa jika mendapat kesuksesan dan tidak prustasi bila menemukan kegagalan. “Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS. Al-Hadid: 23)

Perbuatan Manusia

Mesti dipisahkan pembahasan taqdir sebagai perbuatan Allah SWT (af ‘alullah) dengan pembahasan perbuatan manusia (af’alul insan). Taqdir bagian keimanan bahwa segala sesuatu berada dalam catatan ilmu Allah. Manusia tidak boleh membahasnya, mempertanyakannya karena itu di luar jangkauan manusia. Cukup mengimani saja. “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanya” (QS. Al-Anbiya Ayat 23)

Menurut Syaikh Annabhani, pembahasan kehendak (irodah) Allah dicampuradukan dengan pembahasan kehendak manusia akibat pengaruh filsafat yunani dalam membahas aqidah. Dari situlah muncul perdebatan sengit berabad – abad yang tidak berujung. Kemudian melahirkan tiga kutub pemikiran tentang perbuatan manusia; mu’tazilah (manusia bebas mutlak), jabbariyah (terikat mutlak) dan upaya kompromi dari keduanya oleh kelompok ke tiga, ahlus sunnah (Syakhsyiah Islamiyah 1 hal 73)

Baca Juga :  Empat Faktor Untuk Meraih Haji Mabrur

Walau debat soal taqdir dikaitkan dengan perbuatan manusia kemudian muncul istilah ‘qada dan qadar’ yang melahirkan madzhab pemikiran dibidang aqidah sebagimana di atas terjadi sekitar abad ke 17 H. Namun diskusi sederhana telah muncul di masa para sahabat.

Dikisahkan, ada seorang pencuri pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu yang hendak dihukum potong tangan. Lalu dia beralasan dengan takdir seraya mengatakan, “Saya mencuri begini karena takdir Allah.” Mendengar ucapan pencuri tersebut, Umar pun menjawab, “Dan saya juga akan memotong tanganmu dengan qadha‘ dan takdir Allah.” (Syarh Aqidah Thahawiyyah)

Kembali kepada permasalah, bahwa sesuatu yang terjadi pada wilayah perbuatan manusia (afalul ‘ibad) itu yang menjadi obyek pembahasan istilah qada dan qadar. Sekali lagi bukan membahas af’alullah (wilayah perbuatan Allah SWT). Pembahasan taqdir sudah dijelaskan sebelumnya.

Dalam lingkup wilayah perbuatan manusia ada wilayah musayar atau mujbar (di luar kendali manusia) dan wilayah mukhayar (dalam kendali manusia).

Dalam wilayah musayyar (diluar kendali) manusia terbagi kedalam dua realita; pertama disebut nizdamul wujud; sudah garisnya, dimana manusia menerima apa adanya. Seperti manusia lahir, mati, sebagai laki atau perempuan, bernapas dengan paru, lapar, haus, ngantuk dsb. Kedua Ghoir nizamul wujud tidak secara garis hidup namun tetap diluar kendali manisia. Misalnya; tertabrak mobil, tenggelam karna banjir, tertimpa reruntuhan, terserang wabah dsb. Wilayah inilah disebut dengan qadla dalam bab qadla qadar, baik atau baruk manusia menerimanya. Dalam wilayah ini bebas hisaban, tidak terkait pahala atau dosa. Tidak ada hisaban kenapa seseorang lahir sabagai perempuan, lahir dari turunan si anu, dsb.

Adapun dalam wailayah perbuatan manusia kedua yaitu mukhayyar (dalam kendali manusia), di sinilah berlaku hukum syara’ atas perbuatannya (wajib, sunah, haram, makruh dan mubah). Di wilayah inilah berlaku pahala dan dosa. Manusia mau beriman atau kafir adalah pilihan, seorang muslim mau makan daging sapi atau babi adalah pilihan, dua orang sejoli mau nikah atau zina adalah pilihan. Tidak ada yang memaksa kehendaknya sama sekali.

Fakta bahwa benda-benda memiliki ukuran-ukuran presisi, khasiat- khasiat dan hubungan sebab akibat (kausalitas) itulah yang dimaksud dangan qadar dalam bab qadla qadar. Dalam hal ini Allah berfirman, “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” (QS Al-A’la: 1-3).

Api bisa membakar, kayu bisa terbakar, dalam ukuran tertentu air bisa mendidih apabila dipanaskan. Besi beton ukuran sekian bisa menahan beban sekian. Manusia berdasar pilihannya dapat menggunkan qadar-qadar pada benda tersebut. Bbm dgn kadar tertentu bisa menghasilkan pembakaran lebih sempurna. Atau bbmnya dipalsukan atau direkayasa tergantung pilihan manusia. Golok digunakan untuk mencari kayu bakar itu baik, tapi dipakai untuk membegal orang itu kejahatan. Dalam semua itu manusia bebas memilihnya

Dalam kasus pesantren roboh di atas didugia karena kadar (qadar) penyangga beton yang disiapkan untuk 1 lantai namun dipaksakan menahan beban 3 lantai akhirnya roboh karena tidak melakukan amal sesuai qadarnya. Disini ada kelalaian yang mengakibatkan korban jiwa.

Manusia diperintahkan ikhtiar dengan memanfaatkan khasiat benda dan kausalitas dalam beramal. Jika hendak mancing ikan mesti di kolam yang ada ikannya disitu ada qadar dan sababiyah. Jangan mancing di kebun dengan alasan tawakal, rizki ditangan Allah, kalo sudah taqdirnya dapat ya pasti dapat. Sampai kiamatpun gak akan dapat ikan karena tidak mengambil qadar dan sababiyah.

Bagikan Pelitasukabumi.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Punten Teu Kenging Copas nya, Mangga hubungin IT Pelitasukabumi.id 081563116193