Di Indonesia Oleh: Ust. Lathief Abdallah (Pondok Baitul Hamdi)
Pelitasukabumi.id – Pendidikan karakter di Indonesia semakin menunjukkan gejala krisis yang mengkhawatirkan. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi wadah pembentukan generasi berilmu dan berakhlak justru kerap memunculkan potret buram perilaku moral. Fenomena hilangnya rasa hormat terhadap guru, lemahnya empati antar pelajar, dan semakin kaburnya batas antara benar dan salah menjadi tanda serius rapuhnya fondasi karakter bangsa.
Baru-baru ini, seorang kepala sekolah di Banten, dilaporkan ke polisi hanya karena menegur dan menampar siswa yang merokok di sekolah. Seorang siswi Mts di Sukabumi ditemukan gantung diri di rumahnya setelah merasa tak tahan atas tekan bulian dari teman- teman.
Demikian kejadian yang sama seorang mahasiswa Universitas Udayana Bandung bunuh diri diduga akibat tidak tahan merima bullian dari teman temannya.
Lebih memilukan lagi, media arus utama pun turut berperan dalam menurunkan nilai-nilai luhur pendidikan. Salah satu tayangan di Trans7 bahkan menggambarkan adab santri yang menghormati guru sebagai budaya feodal yang tak pantas dipertahankan. Padahal dalam Islam, penghormatan murid kepada guru merupakan bagian dari adab mulia sebagaimana sabda Nabi SAW,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak orang alim di antara kita”(Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkaam al-Qur’aan, 17/241).
Pendidikan sejati dalam Islam bukan sekadar transfer ilmu, melainkan proses pembentukan karakter dan akhlak yang berakar kuat pada akidah Islam.
Akar krisis pendidikan karakter di Indonesia sejatinya terletak pada penerapan sistem pendidikan sekuler_ sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya, orientasi spiritual dan moral terhapus dari dunia pendidikan, menjadikan tujuan belajar semata demi mencari pekerjaan, bukan pembentukan kepribadian mulia. Tak hanya siswa, banyak guru pun terseret arus krisis moral. Kasus kekerasan, pelecehan, hingga korupsi di dunia pendidikan menunjukkan bahwa sebagian pendidik belum mampu menjadi teladan. Imam al-Qusyairi mengingatkan,
وَمَنْ لَمْ يُؤَدِّبْ نَفْسَهُ لَمْ يَتَأَدَّبْ بِهِ غَيْرُهُ
“Siapa saja yang tidak bisa menanamkan adab pada dirinya, maka orang lain tidak mungkin mempelajari adab darinya”(Tafsir al-Qusyairi, 2/36). Semua ini merupakan buah dari sistem pendidikan sekuler yang berpaling dari Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًك
”Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), maka sesungguhnya bagi dia kehidupan yang sempit.” (QS Thâhâ [20]: 124).*
Dalam pandangan Islam, pendidikan bukan sekadar mencetak manusia cerdas, tetapi membentuk insan berkepribadian Islam (syakhshiyyah islâmiyyah), yaitu pola pikir dan pola sikap yang berpijak pada akidah Islam. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wata’ala:
هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ
”Dialah (Allah) yang mengutus di tengah-tengah kaum yang ummi seorang rasul dari kalangan mereka. Dia (bertugas) membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa/diri) mereka, serta mengajari mereka al-Quran dan hikmah; sementara mereka sebelumnya benar-benar ada dalam kesesatan yang nyata.”(QS. al-Jum’ah [62]: 2).
Rasulullah ﷺ pun bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاق
”Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR al-Bazzaar dan al-Baihaqi).
Dengan demikian, pendidikan dalam Islam memiliki misi utama: membina akhlak mulia dan kesucian jiwa agar manusia menjadi hamba yang taat kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Sebaliknya, sistem pendidikan sekuler yang memisahkan ilmu dari iman melahirkan generasi yang mungkin cerdas secara intelektual, tetapi miskin akhlak. Karena itu, para ulama klasik menekankan pentingnya adab sebelum ilmu, sebagaimana dikatakan:
تَعَلَّمُوا الْأَدَبَ قَبْلَ أَنْ تَتَعَلَّمُوا الْعِلْمَ
“Pelajarilah adab sebelum kalian mempelajari ilmu”_ (Ibn ‘Abd al-Barr, Jaami‘ Bayaan al-‘Ilm wa Fadlih, 1/164).
Adab adalah fondasi ilmu yang membentuk generasi berilmu, beriman, dan bertakwa. Sistem pendidikan Islam menempatkan akidah sebagai asas segala ilmu, mengarahkan seluruh potensi peserta didik untuk beramal dan berkarya demi meraih ridha Allah Subhanahu wata’ala.
Sejarah mencatat bahwa sistem pendidikan Islam pernah mencapai masa keemasan selama berabad-abad di bawah naungan Khilafah, khususnya pada era ‘Abbasiyah. Negara berperan aktif sebagai pelopor pendidikan dengan membangun ribuan madrasah, perpustakaan, dan pusat riset yang terbuka secara gratis bagi seluruh rakyat. Semua itu berlandaskan akidah Islam yang kokoh, menjadikan pendidikan bukan sekadar sarana ilmu, tetapi juga pembinaan iman dan akhlak. Khalifah al-Ma’mun mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia pada abad ke-9 M. Dari sana lahir ilmuwan sekaligus ulama besar di berbagai bidang seperti matematika, kimia, astronomi, kedokteran, fiqih, dan tafsir. Mereka bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki ketakwaan dan akhlak mulia.
Para ulama dan ilmuwan muslim kala itu menghasilkan karya monumental yang dikaji lintas generasi. Ibn Katsir mencatat bahwa dunia Islam pada masa itu “dipenuhi oleh para ulama dan pelajar” (Al-Bidaayah wa an-Nihaayah, 10/279).
Sistem pendidikan Islam dalam sejara kekhilafahan berhasil memadukan kemajuan sains dengan spiritualitas Islam, karena seluruh kebijakan pendidikan berasaskan akidah dan syariah. Ilmu dan iman berjalan seiring, melahirkan peradaban gemilang yang menyeimbangkan kemajuan intelektual dan kemuliaan moral.
Dalam pandangan Islam, negara memiliki tanggung jawab langsung untuk menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi rakyatnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia pimpin”(HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, hanya sistem pemerintahan Islam yang menjadikan akidah sebagai asas dan syariah sebagai pilar utamanya yang mampu mewujudkan pendidikan berkualitas sekaligus membentuk manusia beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.

