Islam dan Ekonomi Kapitalisme

Oleh : Lathief Abdallah (Bidang Keagamaan BJI Sukabumi Raya)

Pelitasukabumi.id – Menjadi sorotan nasional dan menuai kontroversi atas vonis 4,5 tahun penjara yang dijatuhkan Majelis Hakim kepada mantan Menteri Perdagangan 2015–2016, Tom Lembong, dalam kasus impor gula. Vonis ini menuai kontroversi karena didasarkan pada penilaian bahwa Tom menjalankan kebijakan yang condong pada sistem ekonomi kapitalis. Para pengamat hukum termasuk Prof Mahfud MD menilainya keliru atas keputusan hakim tersebut. https://nasional.kompas.com/read/2025/07/22/15510421/

Term kapitalisme menjadi isu perbincangan. Realitanya sistem ekonomi global saat ini nyaris semua bermadzhab kapitalistik hatta China yang mengklaim negara komunis. Sampai Francis Fukuyama (1922) menyebutnya kapitalisme sebagai The And Of History, babak akhir peradaban manusia.

Kapitalisme sendiri merupakan bagian dari ideologi Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini, kepemilikan pribadi dijunjung tinggi, termasuk kepemilikan atas sumber daya alam strategis. Sebagi contoh apa yang terjadi di negeri Indonesia. Menurut APBN 2024, PNBP dari sektor energi (migas, minerba, dll) hanya sekitar Rp 500 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan pemasukan pajak rakyat yang mencapai hampir Rp 2.000 triliun. Ketimpangan lahan pun mencolok—dari 60 juta hektar lahan bersertifikat, setengahnya dikuasai hanya oleh 60 keluarga (data dari Menteri ATR, Nusron Wahid), sementara jutaan rakyat tak punya lahan sama sekali.

Ironisnya, penguasaan sumber daya oleh segelintir oligarki itu justru dilegalkan oleh negara melalui berbagai regulasi, termasuk UU Cipta Kerja yang dibuat bersama oleh DPR dan Pemerintah. Artinya, jika penerapan kebijakan ekonomi kapitalis dianggap sebagai kejahatan, maka aktor utamanya adalah lembaga-lembaga negara itu sendiri.

Bagaimana sistem ekonomi kapitalisme dalam penilaian Islam sekaligus perbedaan antara keduanya? Dalam kitab Nizhaam al-Iqtishaadi fii al-Islaam. ASyaikh An-Nabhani (w.1977), mengurai secara terperinci:

Pertama, asas Kapitalisme adalah Sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang jelas-jelas batil karena bertentangan dengan Islam yang menjadikan wahyu (syariah) sebagai sumber hukum dalam seluruh aspek kehidupan.

Kedua, konsep kepemilikan dalam Kapitalisme batil karena membolehkan individu atau perusahaan memiliki sumber daya milik umum seperti air, tambang, dan migas, padahal dalam Islam semua itu adalah milik umat yang wajib dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim.
Ketiga, sistem ekonomi kapitalis hanya fokus pada akumulasi kekayaan, bukan distribusi yang adil, sehingga menciptakan kesenjangan yang sangat tajam antara si kaya dan si miskin—realitas yang nyata di negeri-negeri yang mengadopsi Kapitalisme, termasuk Indonesia.

Keempat, negara dalam sistem ini lebih melayani kepentingan korporasi dan kaum kapitalis daripada rakyat, seperti diungkap Mahfud MD bahwa setiap pasal dalam undang-undang ada harganya, termasuk UU Cipta Kerja yang berpihak pada oligarki.

Kelima, kebebasan ekonomi yang tidak terkendali justru melahirkan berbagai kezaliman seperti monopoli, eksploitasi buruh, serta kriminalitas ekonomi seperti riba dan spekulasi. Karena itu, Syaikh an Nabhani secara tegas menolak ideologi Kapitalisme dan menyerukan sistem ekonomi Islam sebagai solusi yang adil dan sesuai wahyu.

Sistem ekonomi Islamlah yang mampu mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh rakyat secara hakiki. Hal ini dijelaskan juga oleh Syaikh An Nabhani dalam kitab tersebut di atas. Di antara poin-poin sistem ekonomi Islam:

Baca Juga :  Hijrah Menuju Perubahan

Pertama, tujuan utama sistem ekonomi Islam adalah distribusi kekayaan secara adil kepada individu, bukan sekadar pertumbuhan atau akumulasi kekayaan nasional (GDP).

Kedua, kepemilikan dalam Islam dibagi menjadi tiga: kepemilikan individu, umum, dan negara. Kepemilikan individu didasarkan pada firman Allah SWT; …Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan…” (QS. an-Nisâ’ [4]: 32).

Kepemilikan umum ditegaskan dalam hadits Nabi; “Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram.”(HR Ibnu Majah No.2463).

Serta contoh nyata pencabutan pengelolaan tambang garam dari Abyadh bin Hammal (HR Ibnu Majah). Adapun kepemilikan negara mencakup kharaaj, jizyah, fai’, anfaal, harta murtad, dan harta tak bertuan. Firman Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ;
“…Sesungguhnya seperlima dari ghaniimah itu adalah untuk Allah dan Rasul…” (QS. al-Anfâl [8]: 41) menjadi dasar pengelolaan kekayaan oleh negara demi kemaslahatan umat.

Ketiga, sistem ekonomi Islam melarang kepemilikan harta dari jalan yang haram seperti riba, gharar (ketidakjelasan), maysir (judi), monopoli, dan spekulasi. Allah Subhânahu Wa Ta’âla berfirman; ”…Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” (QS al-Baqarah [2]: 275), dan Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar (ketidakjelasan) (HR Muslim). Larangan ini bertujuan menjaga kebersihan transaksi dan keadilan dalam aktivitas ekonomi. Islam tidak memberi ruang bagi praktik ekonomi eksploitatif yang merugikan masyarakat luas. Sebaliknya, Islam mendorong transaksi yang jelas, saling menguntungkan, dan terbebas dari penindasan ekonomi.
Keempat, negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Syaikh Taqiyuddin menegaskan hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam: _”Imam (Kepala Negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”(HR al-Bukhari).

Kelima, negara juga wajib menjamin distribusi sumber daya alam secara merata dan melarang privatisasi aset milik umum. Tambang, air, gas, hutan, dan listrik harus dikelola oleh negara demi kepentingan seluruh rakyat, bukan diserahkan kepada individu atau korporasi. Pandangan ini sekaligus merupakan penolakan tegas terhadap privatisasi yang marak dalam sistem ekonomi kapitalis.

Dengan demikian, jelas bahwa negeri ini masih mempertahankan ideologi Kapitalisme beserta subsistemnya, yakni sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini telah nyata gagal mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, karena hanya menguntungkan segelintir orang (oligarki) melalui penguasaan atas sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik umum. Ironisnya, perampasan tersebut dilegalkan melalui berbagai undang-undang yang berpihak pada kepentingan pemilik modal, bukan rakyat.

Sudah saatnya negeri ini meninggalkan sistem Kapitalisme dan kembali pada Islam dengan sistem ekonomi Islam sebagai subsistemnya. Islam menjadikan syariah sebagai dasar pengaturan seluruh aspek kehidupan, termasuk ekonomi, demi keadilan dan keberkahan. Sebagaimana janji Allah SWT dalam Al-Qur’an: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (QS. al-A’râf [7]: 96).

Bagikan Pelitasukabumi.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Punten Teu Kenging Copas nya, Mangga hubungin IT Pelitasukabumi.id 081563116193