Qurban, Ketaatan Tanpa Keraguan

Oleh: Lathief Abdallah(Pengasuh Pondok Baitul Hamdi)

Pelitasukabumi.id – Hari raya ‘iedul adha identik dengan hari raya Qurban. Adha sendiri dari kata udhiyah atau dhahiyyah, istilah yang diberikan kepada hewan sembelihan.

Ibadan Qurban adalah simbol ketaatan dan persembahan kepada Sang Maha Pemilik segalanya, yakni Allah SWT. Secara historis, terdapat kisah heroik dibalik permulaan ibadah qurban yang diabadikan dalam Qur’an. Kisah sebuah ketaatan tertinggi dua hamba kepada Allah SWT, yakni kisah keteladanan ayah dan anak; Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Kedua utusan Allah ini mengajari kita ketaatan tanpa ragu, ketaatan tanpa kecuali.

Ibrahim AS, diuji oleh Allah untuk mengorbankan buah hati sekaligus buah cintanya yang telah lama dinanti, putranya sendiri. Adapun Nabi Ismail AS, diuji oleh Allah untuk mengorbankan hidupnya agar ayahnya bisa melaksanakan perintah-Nya.

Tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Anakku, sungguh aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelih kamu. Karena itu pikirkanlah apa pendapatmu.” (QS ash-Shaffat [37]: 102).

Nabi Ibrahim AS. memberikan teladan bahwa tidak ada kecintaan yang paling tinggi melebihi kecintaan kepada Allah SWT. Kecintaan kepada Allah SWT melebihi kecintaan kepada pasangan, anak, harta dan tahta. Kecintaan kepada Allah SWT ini tentu harus diwujudkan dalam ketaatan menjalankan semua perintah-Nya.

Di sisi lain, Ismail AS. juga meyakini sepenuh hati bahwa ketaatan kepada Allah SWT di atas segalanya sekalipun harus mengorbankan jiwa dan raganya. Karena itu Ismail AS pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan:

“Ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapati diriku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS ash-Shaffat [37]: 102).

Allah SWT tidak akan pernah menyia-nyiakan ketaatan dan pengorbanan hamba-hamba-Nya. Allah akan senantiasa memberikan pertolongan dan kemenangan kepada hamba-hamba-Nya yang taat, sebagaimana kepada Ibrahim AS dan Ismail AS, saat Dia menjadikan seekor qibas sebagai pengganti pengorbanan Ismail AS. Allah SWT berfirman:

” Kami memanggil dia, “Hai Ibrahim, sungguh kamu telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami menebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS ash-Shaffat [37]: 104-107).

Inilah keteladanan dalam ketaatan yang agung dari keluarga Ibrahim AS. Sang ayah rela mengorbankan putranya, sedangkan putranya siap mengorbankan nyawanya. Keduanya melaksanakan perintah Allah tanpa setitik pun rasa ragu. Ketika ketaatan mereka telah terbukti nyata, maka Allah SWT pun memberikan balasan kebaikan kepada mereka di dunia dan akhirat.

Baca Juga :  Momentum Memasuki Tahun Baru

Hari ini kita menyaksikan kaum Muslim tanpa ragu melaksanakan perintah berhaji, mengorbankan harta yang terbilang besar, meninggalkan sanak famili berhari-hari, tinggal di tenda-tenda, berdesakan bersama tiga juta Muslim demi menunaikan perintah Allah. Hari ini pun kita menyaksikan kaum Muslim tanpa ragu mempersembahkan kurban terbaik di jalan Allah. Di antara mereka bahkan ada yang mengeluarkan harta hingga ratusan juta rupiah setiap tahun untuk membeli hewan kurban.

Namun demikian, jangan lupa, ketaatan yang diminta oleh Allah adalah ketaatan total pada semua perintah-Nya dan semua larangan-Nya. Bukan ketaatan parsial. Bukan pula ketaatan yang dipilih-pilih menurut kehendak dan kemauan hamba-Nya.

Ketika kaum Muslim mencurahkan ketaatan kepada Allah dalam menunaikan ibadah haji dan dalam berkurban, kemanakah ketaatan itu pergi ketika mereka diseru untuk melaksanakan syariah-Nya dalam perkara muamalah dengan meninggalkan ekonomi ribawi, menerapkan hukum khudud (pidana), memenuhi seruan jihad, menerapkan sistem politik dan pemerintahan Islam. Mengapa hukum-hukum Allah tersebut banyak diabaikan? Bukankah semua itu juga perintah dari Allah, Tuhan yang sama? Tuhan yang menyerukan perintah shalat, berkurban dan berhaji? Lalu mengapa sikap kita berbeda?

Lebih memilukan lagi, semangat dan upaya untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah secara kaaffah dengan melaksanakan syariah Islam justru dihadang dan dihinakan dengan sebutan utopia, kearab-araban sampai tuduhuan ekstrimise dan radikalisme. Padahal Allah SWT Berfirman,

“Tidaklah patut bagi seorang laki-laki Mukmin dan perempuan Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata (QS al-Ahzab [33]: 36).

Demikianlah harusnya sikap seorang Mukmin. Jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu hukum, dia tidak boleh menyelisihinya dan malah mengambil hukum yang lain.

“Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan suatu keberatan pun dalam hati mereka atas keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima (keputusan itu) dengan sepenuhnya” (QS an-Nisa’ [4]: 65).

Dengan demikian tidak sepatutnya orang yang mengaku beriman kepada Allah mencari-cari alasan untuk menolak perintah dan larangan-Nya. Apalagi memutarbalikkan ayat demi keuntungan duniawi. Mengharamkan yang halal. Menghalalkan yang haram. Padahal perintah untuk menerapkan syariah Islam sudah jelas dalam Kitabullah.

“Hendaklah engkau memutuskan hukum di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka (QS al-Maidah [5]: 49).

Bagikan Pelitasukabumi.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Punten Teu Kenging Copas nya, Mangga hubungin IT Pelitasukabumi.id 081563116193