Oleh: Ust.Lathief Abdallah(Pengasuh Pondok Baitul Hamdi)
Pelitasukabumi.id – Setelah ‘Iedul Fitri biasanya ada tradisi halal bi halal yang merupakan bagian dari keragaman budaya muslim indonesia. Adalah sebuah acara pertemuan pasca Ramadhan antar warga, antar keluarga, antar karyawan perusahan dan lembaga. Sebagian mengistilahkan dengan liqa’us syawal atau pertemuan di bulan syawal.
Istilah halal bi halal adalah hal baru dan hanya dikenal di indonesia. Menurut Masdar F Masudi Dewan Syuriah PBNU, Penggagas istilah halal bi halal ini adalah KH Abdul Wahab Chasbullah atas permintaan Presiden Soekarno yang akan mengadakan pertemuan pasca Ramadhan 1948 dengan tujuan meredakan ketegangan antar elit politik pasca kemerdekaan 1945. Soekarno meminta nama dalam pertemuan tersebut selain silaturahmi. Maka KH. Abdul Wahab Chasbullah secara spontan menyebut istilah halal bi halal dengan makna saling membebaskan dari kesalahan.
Menurut ahli bahasa jika hanya kalimat halal bi halal maka ini belum masuk jumlah mufidah (kalimat sempurna). Maka mesti ada kata tersembunyi (idhmar) yang diperkirakan sesuai maksud. Seperti kata dalam QS. Almaidah ayat 45 ‘annafsu bin nafsi’ (jiwa dengan jiwa), ada kata yang tersimpan yaitu ‘yuqtalu’. Dipahami ‘annafsu yuqtalu bin nafsi’ ( jiwa yang dibunuh balasanya dengan jiwa lagi). Demikian halal bi halal maksudnya halalun yujza’u bi halalin, pembebasan (dosa) dibalas dengan pembebasan (dosa) pula, saling memaafkan.
Menurut hemat penulis, ada tiga esensi halal bi halal; mempererat persaudaraan (ukhuwah), memperbaiki kesalahan (islah) dan nasihat kebaikan (dakwah). Maka halal bi halal bisa masuk kategori sunnah hasanah (budaya baik). Sesuai sabda Nabi SAW, “Barangsiapa yang membuat contoh yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim)”
Mempererat persaudaraan (ukhuwah) antar keluarga, antar teman, tetangga, karyawan agar tumbuh saling menyayangi dan mengasihi sangat dianjurkan. Dalam hal ini halal bi halal pengejawantahan dari silaturahmi. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka sambunglah tali silaturahim.” (HR. Bukhari).
Memperbaiki kesalahan (islah) dengan saling memaafkan. Diantara ciri penghuni surga adalah orang yang suka memaafkan orang yang telah berbuat salah kepadanya. Sesuai Firman Allah SWT,
“(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. Aliimran : 134).
Dosa berkait manusia akan menjadi beban tuntutan kelak diakhirat. Karena itu harus saling membebaskan di dunia. Kelak orang yang selangkah lagi menuju surga dengan membawa segunung pahala pun akhirnya dipaksa mundur lalu dilemparkan ke neraka, hanya karena banyak dosa kepada sesama (HR. Muslim).
Pada umumnya dalam halal bi halal disisipi acara tausiyah. Tentu ini momen baik untuk menyampaikan pesan dakwah. Bisa jadi dari hasil halal bi halal muncul gagasan amal nyata. Seperti penggalangan dana untuk membantu yang sedang sakit, korban bencana dsb. Dalam hal ini Allah SWT, berpesan,”Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (Q.S. An-Nisa: 114).
Bila esensi halal bi halal seperti paparan di atas yaitu ukhwah, islah, dan dakwah, maka halal bi halal merupakan amal kebajikan setelah Ramadan.