Oleh : Kang BG
Pelitasukabumi.id : Barak militer tiba-tiba jadi sorotan. Bukan karena negeri ini mempunyai presiden berlatar belakang militer, tapi lantaran barak militer dijadikan sebagai sarana mendidik siswa bermasalah atau nakal. Pendekatan militer dianggap sebagai solusi jitu mengentaskan kenakalan siswa, tawuran, perundungan, kenakalan remaja lainnya termasuk kekerasan seksual dan pornografi.
Benarkah begitu?
Sepintas, mengirimkan siswa nakal ke barak militer tampak sebagai solusi praktis. Namun, faktanya tidak demikian karena pendidikan kedisplinan ala militer tidak menyentuh akar masalahnya. Pendidikan di barak militer membuka fakta gagalnya sistem pendidikan nasional dalam membentuk karakter generasi muda.
Sebagaimana tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Jauh panggang dari api. Itulah yang terjadi antara harapan dengan fakta yang terjadi. Mari lihat fakta hari ini, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menunjukkan bahwa kasus perundungan, kekerasan seksual dan kenakalan remaja terus meningkat. Di sekolah mereka kehilangan panutan, di keluarga merasa diabaikan sementara di lingkungan masyarakat nyata mau pun dunia maya, mereka disuguhi tontonan kekerasan, pornografi, pornoaksi dan perjudian yang sudah tanpa batas.
Kenakalan remaja bukan lagi menjadi kenakalan biasa. Bagaimana tidak, tayangan berita pembunuhan akibat tawuran anak sekolah, pelecehan seksual bahkan pemerkosaan anak di bawah umur dilakukan oleh anak-anak dan peristiwa kriminalitas lainnya yang dilakukan oleh anak-anak remaja.
Keranjingan game online, bahkan judi online, menyeret anak-anak pada jeratan pinjaman online (pinjol) sehingga hidup mereka menjadi penuh tekanan karena masalah yang semestinya belum mereka hadapi.
Bahkan narkoba. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, sekitar 3,3 juta orang Indonesia menyalahgunakan narkoba dengan mayoritas pengguna di usia 15 hingga 24 tahun.
Bagaimana kita tidak khawatir dengan potret buram masa depan anak-anak Kita?
Mengapa demikian?
Karena sistem pendidikan hari ini menjauhkan manusia dari fitrahnya. Nilai moral dan spiritual seharusnya menjadi dasar pendidikan, diganti dengan target akademi dan standar kelulusan. Sekolah telah menjadi pabrik nilai bukan membentuk karakter yang baik. Singkatnya, tidak terjadi proses memanusiakan manusia.
Kegagalan sistem pendidikan untuk memanusiakan manusia, melahirkan rasa frustasi sehingga solusi jangka pendek memasukkan siswa ke barak jadi pilihan.
Ketua Komnas HAM RI Atnike Nova Sigiro mengatakan bahwa penanganan siswa bermasalah membutuhkan pendekatan psikologis. Melibatkan psikolog dan psikiater untuk menangani siswa bermasalah jauh lebih tepat ketimbang mengirim mereka ke barak militer. Pertanyaannya apakah semua siswa memiliki akses ke psikolog/psikiater?
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji juga mengkritisi barak militer untuk siswa nakal. Menurutnya, ide mengirimkan siswa bermasalah ke barak militer membuktikan kegagalan sistem pendidikan nasional yang seharusnya mampu memberikan solusi tanpa harus mengalihkan tanggung jawab kepada institusi militer.
Matraji juga mengingatkan bahwa tujuan institusi pendidikan berbeda dengan tujuan institusi militer. Militer dirancang untuk menjaga keamanan negara, tidak seharusnya berperan dalam membentuk karakter anak-anak.
Pendidikan Anak dalam Islam
Islam memiliki sistem pendidikan yang menyetuh akar, sekaligus menawarkan solusi fundamental. Dalam Islam, pendidikan adalah proses pembentukan syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islam) yang terdiri dari akal yang berpola fikir islami dan jiwa yang berpola tindak Islami.
Islam memastikan bahwa cara berfikir (mindset) seorang muslim harus Islami, begitu pula ucapan dan tindakannya harus Islami. Dengan demikian, setiap anak dalam pendidikan Islam memiliki polaa pikir dan pola tindak sesuai prinsip dasar ajaran Islam, melaksanakan perintah ALLAH dan RASULULLAH sekaligus menjauhi laranganNYA. Karena itu, sistem Islam menjauhkan kenakalan sekaligus membentuk ketakwaan.
Islam memandang bahwa anak adalah amanah bagi orang tuanya. Sebagai, amanah, maka ada kewajiban besar untuk menjaganya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah mengingatkan : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani Majusi (HR. Bukhori dan Muslim).
Sejak lahir, potensi fitrah seorang anak harus dijaga dengan baik. Islam tidak membiarkan seorang anak tumbuh dan berkembang tanpa panduan, tuntunan dan tanpa kendali. Tanggung jawab menjaga fitrah anak dipikul oleh keluarga, masyarakat dan negara, sehingga anak dipastikan hidup dalam situasi yang kondusif bagi keimanan dan akhlak yang mulia.
Sistem pendidikan Islam memiliki ciri khas. Tidak sekadar mencerdasarkan anak dengan suplai ilmu pengetahuan, tapi juga sekaligus membentuk syakhsiyah (kepribadian) anak yang berakhlak karimah. Tujuan pendidikan dalam Islam, bukan sekadar mencetak anak-anak menjadi cerdas, tapi lebih dari itu mencetak generasi yang bertaqwa.
Pendidikan Islam dibangun atas dasar akidah Islam. Semua ilmu yang diajarkan, baik sains, teknologi, ekonomi, sosial dan lainnya ditanamkan dalam kerangka pandangan Islam. Siswa dididik untuk memahami bahwa hidup bukan sekedar menjalani dan menikmati kehidupan duniawi, tapi yang harus diprioritaskan adalah persiapan untuk kehidupan akhirat.
Salah satu medote pendidikan Islam adalah menerapkan keteladanan. Islam memiliki role model yang menjadi rujukan, panutan/uswah untuk diteladani yakni Baginda Rasulullah Muhammad Saw. Sosok yang menjadi tools hidup dalam menjalani kehidupan.
Sejarah juga mencatat generasi emas Islam yang dikomandoi anak-anak muda, yang karya monumental mereka masih dirasakan hingga saat ini.
Pada zaman rasul, dikenal seorang pemuda bernama Mus’ab bin Umair, seorang pemuda dari bangsawan Suku Quraisy. Hidup bergelimang kemewahan, dididik dengan pengajaran kelas bangsawan. Mus’ab kecil sudah terbiasa hadir di moment rapat pembesar suku-suku di Mekkah, di ruang rapat Tsaqifah Bani Saidah, ketika membahas suatu persoalan.
Setelah tersentuh dakwah Islam, Mus’ab dengan teguh meninggalkan kemewahan yang selama ini membalutnya, terusir dari keluarganya sehingga hidupnya berubah dari mewah menjadi melarat. Tapi semua itu dijalaninya dengan penuh keimanan dan kecintaan pada Islam.
Hingga tiba saatnya, Rasulullah Saw menugaskan Mus’ab untuk berdakwah ke Yatsrib (madinah), mengajar AlQuran dan dakwah Islam kepada beberapa orang yang telah masuk Islam. Tanpa perlu waktu lama, sekitar satu tahun, Mus’ab telah menjadikan banyak masyarakat Yatsrib memeluk Islam, sekaligus menanamkan pondasi untuk hijrahnya Rasulullah dan Ummat Islam sehingga Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Kita juga mengenal sosok Muhamad Al-Fatih, sosok pemuda yang berhasil meruntuhkan hegemoni Konstatinopel di abad ke 15. Di usianya yang 21, AlFatih mengakhiri dominasi 1000 tahun Romawi Timur dan meluaskan kejayaan kekhalifahan Islam.
Qimmah/motivasi apa yang ada di benak AlFatih hingga memiliki kekuatan ekstra ordinari yang dahsyat? Sejak kecil, AlFatih ditempa oleh pendidikan AlQuran, akidah, tafsir, hadis dan ilmu kemiliteran. Sejak kecil, telah ditanamkan padanya visi meraih basyiroh Nabi Muhammad Saw, bahwa Konstatinopel akan jatuh di tangan panglima perang terbaik dan pasukan perang terbaik. AlFatih mewujudkan visi Baginda Rasul tersebut.
Karena itu, faktor utama yang mencetak anak-anak soleh adalah keluarga, kemudian lingkungan dan kehadiran negara yang menjamin lingkungan yang sehat, aman, kondusif bagi pertumbuhan anak.
Pembinaan Keluarga
Di lingkup keluarga, anak harus terjamin mendapatkan maklumat-maklumat terbaik sejak dini. Dalam sebuah pepatah disebutkan : Al-Ummu almadrosatul uula, wa-Abu mudiiruha, “ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya, dan ayah sebagai kepala sekolah’.
Tugas orang tua tidak sekadar menjamin nafkah anak-anaknya, tapi juga memastikan mereka menerima pembelajaran terbaik, karena orang tua sesungguhnya adalah pendidik sejati.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun! Dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun (jika mereka meninggalkan shalat)! Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara anak laki-laki dan anak perempuan)!”
Hadis ini menunjukkan pembiasaan sejak dini dan ketegasan dalam mendidik, dengan penuh kasih tanpa tekanan.
Peran Masyarakat dan Negara
Selain keluarga, masyarakat dan negara juga memiliki peran vital dalam pendidikan anak. Islam memandang, masyarakat bukan sekadar kumpulan indiviu, akan tetapi menjadi komunitas yang saling menasehati dalam kebaikan dan mencegah kemunkaran.
Masyarakat Islam tidak akan membiarkan kemunkaran merajalela. Masyarakat akan bergerak untuk menasehati, tidak sekadar mencela setiap perbuatan yang melanggar syari’at.
Begitu pula negara, dalam Islam negara menjadi junnah (pelindung) bagi ummat. Pelindung dari berbagai pengaruh negatif yang buruk bagi pertumbuhan anak, seperti kekerasan, pornografi, pornoaksi, budaya asing yang merusak dan lainnya.
Negara bertanggungjawab atas pendidikan generasi muda dan wajib menyediakan sistem pendidikan yang membentuk kepribadian Islam dan mengembangkan potensi anak, menyiapkan guru yang kompeten, berkualitas dan menyiapkan fasilitas yang layak dan lingkungan sosial yang sehat.*