Oleh : Budhy Lesmana
Pelitasukabumi.id – Investasi Wakaf di Pasar Modal Melanggar Prinsip Syariah.
Program Wakaf Dana Abadi Kota Sukabumi kembali menuai kritik tajam. Kali ini sorotan datang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pro Ummat, yang menilai bahwa skema pengelolaan dan bagi hasil dari dana wakaf tersebut berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar syariah.
Dalam wawancara khusus pada Minggu (25/05), Budhy Lesmana, perwakilan LBH Pro Ummat, mengungkapkan kekhawatiran serius atas mekanisme investasi dana wakaf abadi yang sebagian besar diarahkan pada instrumen sukuk atau surat utang syariah.
Menurut Budhy, sekalipun Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan penggunaan sukuk sebagai instrumen investasi syariah, faktanya di pasar modal, sukuk masih diatur oleh peraturan teknis yang menetapkan bunga flat bagi emitem syariah yang menerbitkan sukuk.
“Fakta di pasar modal, sukuk ini harus tunduk pada peraturan OJK yang mewajibkan pemberian bunga kepada pihak yg membeli sukuk. Maka ini jelas & tegas merupakan riba,” tegas kang BG, sapaannya.
Ia menilai bahwa keterikatan pada sistem bunga dan skema flat return di pasar modal membuat investasi dana wakaf melalui sukuk menjadi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
“Salah satu ciri riba adalah adanya bunga tetap atau keuntungan yang dijanjikan secara flat. Ketika sukuk menjanjikan imbal hasil tetap misalnya 6 persen maka itulah riba,” jelasnya.
BG mengingatkan fatwa MUI No 1 Tahun 2004 tentang bunga bank yang tegas dinyatakan haram.
“Ummat Islam harus jeli, fatwa MUI tentang sukuk semestinya tidak bertentangan dengan fakta MUI tentang bunga,” terangnya.
Kritik Budhy tidak hanya berhenti pada aspek teknis pengelolaan dana, tetapi juga pada substansi ideologis dari program dana wakaf abadi yang diusung Pemerintah Kota Sukabumi. Ia mempertanyakan apakah program ini benar-benar ingin menghadirkan alternatif ekonomi Islam yang menjawab kebutuhan umat, atau justru menjadi “pintu masuk” praktik kapitalisme yang bertentangan dengan prinsip Islam.
“Jangan sampai label ‘wakaf’ hanya menjadi bungkus agama untuk membenarkan skema investasi yang sejatinya kapitalistik. Wakaf seharusnya dikelola untuk kesejahteraan umat secara langsung, bukan dijadikan alat menumpuk modal di bursa efek,” katanya.
BG mengingatkan, alasan kuat mayoritas ulama, terutama dari madzhab Imam Syafii yang banyak dijadikan rujukan di Indonesia, karena faktanya wakaf uang ini menimbulkan banyak kemadharatan.
Berbeda dengan wakaf semisal tanah, kendaran, bangunan dan lainnya yang bersifat tetap, karena fisik bendanya tidak hilang saat akad wakaf diikrarkan.
“Secara bahasa, wakaf itu maknanya menahan. Imam Syafii mendefinikan wakaf sebagai habsulmaal watasdiiqu alalmanfaatihi, menahan pokok harta wakaf dan mensodaqohkab manfaatnya. Kalau wakaf uang, ketika diserahkan uangnya, dan kemudian uang itu dikelola dengan cara diinvestasikan, maka fisik uangnya menjadi hilang. Secara ta’rif wakaf, maka fakta wakaf uang sudah tidak sesuai,” paparnya.
BG melanjutkan, terlebih ketika uang wakaf dikelola oleh nazir. Maka peluangnya hanya dengan tiga cara, yaitu dengan mudhorobah dan diinvestasikan di pasar modal, yaitu dibelikan sukuk.
“Pertanyaannya, apakah ada jaminan bahwa investasi di pasar modal itu sesuai syariat? Apakah ada jaminan investasinya menghasilkan keuntungan? Jangan2 malah buntung. Uang wakaf jadi lenyap karena menderita kerugian,” jelasnya.
LBH Pro Ummat mendesak agar pemerintah daerah segera melakukan evaluasi total terhadap skema pengelolaan wakaf abadi, termasuk mencabut sementara izin kerja sama dengan pihak ketiga hingga ada kajian mendalam dan komprehensif.
BG merasa khawatir, program wakaf dana abadi menjadikan wakaf sebagai produk keuangan—bukan sebagai instrumen keadilan sosial yang sesungguhnya.
“Kalau ini dibiarkan, bisa jadi ke depan wakaf akan diperlakukan seperti asuransi atau reksa dana. Padahal, secara prinsip, wakaf tidak boleh diperjualbelikan atau diputar hanya demi mendapatkan keuntungan material,” katanya.